Jakarta – Fenomena bendera bajak laut One Piece yang ramai dikibarkan sebagai bentuk protes dan kekecewaan publik seharusnya direspons dengan dialog, bukan ancaman pidana atau kekerasan oleh oknum aparat. Hal itu ditegaskan Sekjen Aliansi Masyarakat dan Pemuda Nusantara Merah Putih (AMPUH), Heru Purwoko, dalam keterangannya kepada media, Jumat (8/8/2025).
Kekerasan Oknum TNI Jadi Sorotan
Heru menyoroti kasus viral di media sosial, di mana seorang oknum anggota TNI melakukan kekerasan fisik terhadap penjual sayur di Makassar, Sulawesi Selatan. Aksi tersebut dipicu karena sang penjual terlihat membawa bendera One Piece di dalam mobilnya.
“Oknum itu langsung menampar penjual sayur di depan anak dan istrinya. Ini jelas tindakan yang tidak pantas dan memicu kemarahan publik,” ujar Heru.
Menurutnya, selama bendera One Piece tidak dikibarkan lebih tinggi dari Sang Saka Merah Putih atau menggantikannya, tidak ada aturan yang melarang. “Ini bukan bendera organisasi terlarang atau simbol negara asing. Bahkan, bukan bendera palu arit. Fenomena ini murni ekspresi kritik atau sekadar tren di kalangan anak muda,” tegasnya.
Ekspresi Simbolik Dilindungi Konstitusi
Heru menegaskan, kebebasan berekspresi, termasuk dalam bentuk simbolik seperti pengibaran bendera, dilindungi Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. “Fenomena One Piece ini bagian dari kebebasan mengemukakan pendapat. Pemerintah seharusnya merespons dengan bijak, bukan malah mengancam,” tambahnya.
Pemerintah Bersikukuh: Pengibaran One Piece Bisa Kena Pidana
Sebelumnya, Menko Polhukam Budi Gunawan menyatakan bahwa pemasangan bendera One Piece menjelang Hari Kemerdekaan bisa mengandung unsur pidana. “Ini menodai kehormatan bendera Merah Putih,” tegasnya.
Pernyataan itu merujuk pada Pasal 24 Ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, yang melarang pengibaran bendera lain di bawah bendera negara. “Pemerintah akan ambil langkah hukum untuk melindungi martabat simbol negara,” tegas Budi.
Pertanyaan Besar: Ancaman vs Dialog, Mana yang Lebih Efektif?
Di tengah pro-kontra, AMPUH mendesak pemerintah untuk mengedepankan pendekatan dialogis. “Kalau dijawab dengan represif, justru akan memicu perlawanan lebih besar. Masyarakat butuh didengar, bukan ditakuti,” pungkas Heru.





