Jakarta – Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) menimbulkan kekhawatiran di kalangan mahasiswa dan pemuda.
Masyarakat perlu kritis mempertanyakan dampak R-KUHAP sebelum diberlakukan bersamaan dengan KUHP baru pada 1 Januari 2026.
Hal ini menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa perubahan tersebut tidak menimbulkan masalah baru yang justru merugikan publik.
Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) melalui cabang-cabangnya mendorong publik untuk melakukan brain storming terhadap isu revisi KUHAP.
Mandataris Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Situbondo, Riyanto, menilai revisi ini berpotensi menimbulkan masalah baru, terutama terkait kewenangan lembaga Adhyaksa.
“Banyak mahasiswa dan pemuda yang khawatir dengan arah kebijakan ini,” kata Riyanto kepada wartawan, Jumat, 13 Juni 2025.
Salah satu kekhawatiran itu adalah ketika revisi KUHAP berpotensi menghidupkan kembali asas sentralistik seperti yang berlaku di masa Orde Baru.
Sebagai contoh, meluasnya kewenangan jaksa yang tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol efektif berpotensi besar mengikis keseimbangan sistem hukum.
Kondisi ini dapat menciptakan disparitas kekuasaan yang signifikan, di mana lembaga peradilan lain kesulitan memberikan pengawasan yang memadai, berujung pada potensi penyalahgunaan wewenang dan ketidakadilan yang merugikan publik.
“Ini harus kita kritisi bersama,” tegasnya.
Idealnya, R-KUHAP harus menjadi tonggak reformasi yang menjamin keadilan bagi semua pihak, bukan justru memihak segelintir kelompok.
Riyanto menyerukan seluruh elemen masyarakat – mulai dari akademisi, mahasiswa, hingga tokoh daerah – aktif berpartisipasi dalam diskusi dan kajian mendalam.
Keterlibatan ini krusial untuk memastikan bahwa setiap pasal yang disahkan nantinya benar-benar berpihak pada kepentingan publik, sebelum kebijakan ini resmi diberlakukan.
“Negara kita saat ini tengah menghadapi berbagai tantangan hukum. Jangan sampai revisi ini justru memperburuk keadaan. Kita perlu evaluasi mendalam agar tidak merugikan masyarakat,” jelasnya.
Sejauh ini Revisi KUHAP menjadi sorotan tajam di kalangan akademisi dan aktivis. Mereka khawatir potensi jaksa memiliki kewenangan berlebihan hingga mengancam independensi peradilan.
Meskipun sebagian masyarakat mendukung dengan dalih efisiensi, banyak pula yang menilai revisi ini sebagai kemunduran signifikan bagi sistem peradilan pidana di Indonesia.
Dalam situasi seperti itu Riyanto menilai partisipasi aktif masyarakat sangat krusial dalam mengawal kebijakan hukum agar tidak merugikan kepentingan publik.
“Semua elemen masyarakat harus bersuara demi menjaga supremasi hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Sidoarjo, Putri Maulidina, mengatakan kehadiran Revisi KUHAP dan RUU Kejaksaan merupakan upaya pemerintah untuk memperbarui sistem hukum.
Tujuan pemerintah pun jelas yaitu memberikan jaminan perlindungan, kepastian hukum, keadilan, dan menciptakan ketertiban hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Polemik utama yang mencuat adalah tumpang tindih kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang diberikan kepada Polri dan Kejaksaan.
“Penyelidikan dan penyidikan merupakan langkah awal dari upaya penegakan hukum yang ditugaskan kepada Polri, pegawai negeri sipil tertentu atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh UU itu sendiri,” ujarnya dalam keterangan, Jumat, 13 Juni 2025.
Putri sepakat semua pihak wajib terus mengawal kebijakan ini agar tidak bergeser hanya untuk kepentingan segelintir pihak.
Sebab, demi menjaga supremasi hukum, seluruh elemen masyarakat harus bersuara dan memastikan keadilan ditegakkan untuk semua.