Kemunduran demokrasi di akhir era pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak bisa dan tidak boleh dibiarkan terus terjadi, mengingat demokrasi merupakan capaian politik yang diperjuangkan dengan susah payah pada tahun 1998 dan harus terus dipertahankan. Untuk merespon hal tersebut, dibutuhkan adanya bangunan gerakan pro demokrasi untuk menyelamatkan demokrasi dari kemunduran, termasuk dengan menjadikan politik elektoral sebagai momentum dan media untuk mengoreksi semua kebijakan dan langkah politik Presiden Joko Widodo yang memundurkan capaian politik Reformasi 1998 tersebut.

Keputusan MK yang membuat Gibran bisa maju sebagai cawapres telah menodai semangat dan cita-cita reformasi 1998. Perjuangan Reformasi 1998 ialah memberantas nepotisme, yang mengacak-acak konstitusi. Sebelumnya lagi anak Presiden Kaesang dimudahkan menjadi Ketua Umum salah satu parpol yang pendukung. Nepotisme yang bisa dirasakan dengaan pembenaran demokrasi yang semuanya dikembalikan kepada masyarakat. Namun kita lupa bahwa sila ke 4, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Hanya “Lips Service” yang katanya Anak kandung Refromasi namun faktanya Malin Kundang terhadap cita-cita reformasi 1998.

Fakta didepan mata putusan MK Nomor 90/2023 memang membuka jalan Gibran yang belum berumum 40 tahun bisa menjadi cawapres. Putusan itu diketuk oleh paman Gibran, bekas ketua MK Anwar Usman, yang sudah dipecat dari jabatannya sebagai ketua karena terbukti melanggar etika berat pada putusan tersebut.

Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) menerbitkan surat tindak lanjut pada 17 Oktober 2023 atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023 soal batas usia capres cawapres. Langkah yang dilakukan KPU hanya sebatas memberi surat edaran agar partai politik mentaati putusan MK. KPU tetap bersikukuh dengan STL maka dapat dikatakan produk tersebut ilegal. Jadi akan ada catatan sejarah dalam Pemilu di Indonesia pada tahun 2024 ada Cawapres yang diloloskan lewat produk illegal dan bodong. Apakah ada lembaga eksekutif, dalam hal ini KPU, tanpa berkoordinasi dengan legislatif yakni DPR, langsung memutuskan dan memproduksi STL atas putusan dari yudikatif yaitu MK. Dan inilah kolusi didepan mata berupa kriminal yang Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM).

Hari Purwanto
Dir. Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR)

Temukan juga kami di Google News.