Jakarta – Merespons dua insiden kekerasan bersenjata yang merenggut nyawa warga sipil di Tanah Papua, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid pun mengecam pembunuhan terhadap Michelle Kurisi.
“Kami mendesak pihak berwajib untuk mencari pelaku pembunuhan dan mengusut seluruh kekerasan yang terus bermunculan di Tanah Papua, termasuk perampokan dengan kekerasan di Pegunungan Bintang. Korban terus berjatuhan dari semua lapisan masyarakat. Ini mengoyak kedamaian masyarakat di Papua dan rasa kemanusiaan kita semua,” tegas Usman Hamid, hari ini.
Menurutnya, rantai kekerasan ini harus dihentikan. Tindakan kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang terjadi selama dua pekan terakhir ini tidak bisa dibenarkan atas alasan apa pun. Itu mencabut hak fundamental manusia untuk hidup.
“Setiap orang berhak hidup dan merasa aman. Penembakan dan segala bentuk kekerasan tak hanya mengancam nyawa, tetapi juga menimbulkan rasa takut dan trauma di masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya.
Pihaknya pun mendesak semua pihak terutama yang berkonflik untuk segera menghentikan kekerasan di Tanah Papua. Kami menyerukan aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas insiden-insiden ini dan menangkap para pelakunya.
“Tanggung jawab hukum harus ditegakkan secara adil dan transparan terhadap siapa pun yang terlibat kekerasan di Tanah Papua,” katanya.
Latar belakang
Menurut informasi yang diterima Amnesty International Indonesia, sejumlah orang melakukan pembunuhan terhadap seorang perempuan bernama Michelle Kurisi di Kimbim, Kabupaten Jayawijaya, Papua, pada Senin (28/8).
Pembunuhan itu dilakukan karena Michelle diduga melakukan aktivitas yang mencurigakan.
Dalam tayangan video yang diterima Amnesty, korban yang berbaju hitam dan dalam keadaan terduduk tengah memberi penjelasan sambil menyebut kata-kata “the spirit of Papua…Di sana Kakak Samuel…mereka dibina oleh…” Tayangan penjelasan tersebut terpotong dan berlanjut dengan tayangan korban yang sudah jatuh telentang di atas tanah dan terluka parah.
Kepolisan Daerah Papua menyatakan bahwa berdasarkan informasi yang mereka terima, pembunuhan ini terjadi setelah korban diinterogasi mengenai tujuannya dalam perjalanan menuju ke Kwijawagi, di mana dia bermaksud mengumpulkan data tentang pengungsi warga Nduga. Namun kepolisian mengaku masih melakukan pendalaman dan investigasi lebih lanjut guna memverifikasi kebenaran informasi tersebut.
Sehari sebelumnya, pada Minggu 27 Agustus 2023 pukul 13.30 WIT, telah terjadi dugaan perampokan dengan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap para penambang di Kampung Kawe Lokasi Minning 63 Dokter (PETI) Kabupaten Pegunungan Bintang, sehingga menyebabkan dua orang penambang meninggal dan lima penambang lainnya mengalami luka berat.
Dua korban yang tewas berinisial LK (33) dan JU (41). Sedangkan penambang yang luka-luka bernama OB (45), JM (49), JFB (21), ALS (29), dan RS (56).
Dari 2018 hingga 2022, Amnesty International mencatat setidaknya 94 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 179 warga sipil.
Dalam periode waktu yang sama, jumlah korban yang meninggal dari pihak TNI sebanyak 35 jiwa dari 24 kasus pembunuhan di luar hukum, 9 anggota Polri dari 8 kasus, dan 23 anggota kelompok pro-kemerdekaan Papua dari 17 kasus.
Amnesty International Indonesia tidak mengambil posisi politik apa pun terkait status wilayah Papua, namun mengecam tindak kekerasan berlebihan yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat konflik.
Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.
Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup.
Selain itu Komite HAM PBB, dalam kapasitasnya sebagai penafsir otoritatif ICCPR, juga menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM secepatnya, secara mendalam dan efektif melalui badan-badan independen dan imparsial, harus menjamin terlaksananya pengadilan terhadap pihak-pihak yang bertanggung jawab, serta memberikan hak reparasi bagi para korban.
Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri.
Tinggalkan Balasan