Jakarta – Badan Pekerja KontraS menyoroti wacana Revisi terhadap UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali mencuat pasca paparan mengenai Revisi UU TNI diserahkan oleh Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI diserahkan kepada Panglima TNI Yudo Margono dan internal Markas Besar TNI melakukan pembahasan mengenai agenda Revisi UU TNI.

Diketahui, Revisi terhadap UU TNI juga telah menjadi agenda program legislasi nasional (prolegnas) prioritas oleh DPR-RI sejak tahun 2022 yang lalu.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima informasi mengenai rancangan perubahan pasal yang diusulkan oleh Babinkum TNI dan menyoroti beberapa pasal bermasalah pada draf Rancangan Revisi UU TNI tersebut.

“Kami menilai bahwa rencana revisi terhadap UU TNI yang sudah direncanakan sejak 2019 ini, merupakan bentuk regresi terhadap agenda reformasi sektor keamanan dan berpotensi menguatnya cengkraman militerisme,” ungkap Andi Muhammad Rezaldy, S.H selaku Wakil Koordinator Bidang Strategi & Mobilisasi, hari ini.

Berdasarkan rancangan yang diajukan oleh Babinkum TNI, pihaknya memiliki beberapa catatan krusial yakni:
Pertama, menguatnya peran internal militer dan membuat TNI semakin tidak profesional. Hal tersebut tercermin misalnya dalam rancangan Pasal 7 angka (4) yang membuka ruang bagi diperluasnya peranan TNI dalam pelaksanaan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) serta Pasal 47 yang membuka ruang bagi prajurit TNI untuk menduduki berbagai jabatan sipil.

“Perluasan terhadap kewenangan TNI dalam OMSP akan membuka ruang bagi pengerahan pasukan TNI secara lebih masif yang juga beresiko akan terjadinya Pelanggaran HAM. Selain resiko pelanggaran HAM, pengerahan pasukan dalam rangka OMSP juga sudah terbukti menjadi salah satu faktor dalam langgengnya situasi kekerasan di beberapa wilayah utamanya Papua,” bebernya.

Kedua, lanjut dia, berkaitan dengan pengerahan prajurit TNI untuk operasi militer, Pasal 3 dalam UU TNI secara eksplisit mensyaratkan pengerahan dan penggunaan militer TNI berada di bawah Presiden. Dalam rancangan Revisi UU TNI hanya disebutkan bahwa TNI merupakan alat Negara yang berkedudukan di bawah Presiden dan tidak secara jelas mengatur bahwa pengerahan kekuatan militer TNI berada di bawah Presiden. Jika kewenangan pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI oleh Presiden dihapus maka TNI dapat melakukan operasi militer tanpa persetujuan dan pengawasan dari Presiden.

“Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dalam negara demokratis, apabila prinsip ini dilanggar maka dapat terjadi pergeseran kekuasaan yang berpotensi merusak prinsip-prinsip negara demokrasi serta mengancam hak asasi manusia,” jelasnya.

Ketiga, tambah dia, Rancangan Revisi UU TNI juga mengemukakan wacana untuk memperbolehkan prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil pada tujuh Kementerian/Lembaga tambahan yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola perbatasan, Badan Keamanan laut.

“Dengan penambahan ini secara total terdapat 17 Kementerian/Lembaga yang membuka peluang jabatannya dipegang oleh prajurit TNI aktif. Mengizinkan prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan pada Kementerian/Lembaga tersebut sama saja dengan membuka peluang bagi kembalinya dwi fungsi ABRI, sesuai dengan mandat reformasi seharusnya prajurit TNI hanya diperbolehkan untuk menduduki jabatan yang pada Kementerian/Lembaga yang berkaitan dengan pertahanan negara,” terangnya.

Keempat, kata dia, Institusi TNI akan semakin jauh dari akuntabilitas dan lekat pada kultur impunitas. Sebab dalam Pasal 65 usulan rancangan revisi UU TNI yang pada intinya mengatur apabila prajurit TNI melakukan tindak pidana umum maka akan diadili pada peradilan militer.

Selama ini, pihaknya menganggap peradilan militer menyimpan begitu banyak persoalan khususnya mengenai disparitas putusan dimana putusan peradilan militer rata-rata lebih ringan dibanding putusan yang dikeluarkan oleh peradilan umum.

“Alih-alih melakukan reformasi peradilan militer sebagaimana diamanatkan pasal 3 ayat (4) TAP MPR Nomor VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004, draf revisi hanya akan menambah persoalan mengenai impunitas dan memperburuk akuntabilitas TNI khususnya dalam konteks pertanggungjawaban pidana dari Prajurit TNI,” sebutnya.

Oleh karenanya, pihaknya mendesak Pemerintah dan DPR RI menolak rancangan revisi UU No. 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia sebagai upaya mewujudkan negara yang demokratis dan melaksanakan amanat reformasi.

“Pemerintah memastikan berbagai agenda reformasi TNI dapat dituntaskan sebagai upaya mewujudkan TNI yang lebih profesional dan tunduk pada supremasi sipil sesuai dengan mandat reformasi,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.