Jakarta – Guru Besar lmu Hukum Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita meminta para pendukung Anies Baswedan untuk legowo dan menerima bahwa calon presidennya tersangkut dugaan tindak pidana korupsi Formula E.

Menurutnya, apa yang dilakukan KPK selama ini sudah sangat tepat yaitu melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. “Pengeritik dan pengusung hoax dan fitnah jangan kebakaran jenggot dong ketika mengetahui calon presiden yang diunggulkan terlibat masalah pidana dalam hubungan dengan penyelenggaraan Formula E,” ujar Romli, Rabu, 30 November 2022.

Romli mengatakan, pusaran dugaan korupsi Formula E saat ini memasuki babak baru, dimana KPK telah melakukan penyelidikan sejak sebelum Anies ditetapkan Partai Nasdem sebagai Bakal Calon Presiden untuk Pemilu 2024 yang akan datang.

“Bahkan jika dihubungkan dengan mekanisme pencalonan bakal calon presiden ternyata masih jauh kira-kira tahun 2023 yang akan datang. Apalagi sejak Koran Tempo memberitakan informasi sesat yang dikaitkan dengan saya, sejak saat itulah muncul banyak Kritik, cacian, fitnah dan hoax terkait pemeriksaan KPK dan khususnya saya sebagai ahli dari KPK,” katanya.

Menurut Romli, pendapat yang dilontarkan itu di antaranya soal ketidakpuasan mereka terhadap KPK karena penyelenggaraan Formula E dianggap sukses dan membawa nama baik bangsa Indonesia. Namun demikian, bagi hukum termasuk ahli hukum, terdapat pakem bahwa, tujuan tidak dapat digunakannya cara atau prosedur terbaik adalah berdasarkan undang-undang untuk menghalalkan tujuan yang telah dicapai.

“Dalam silang pendapat tersebut muncul pertanyaan yang dilontarkan oleh mantan pimpinan KPK, Saut Situmorang, menanyakan mana mes rea nya dalam penyelenggaraan formula E; sekalipun pendapat/pernyataan tersebut berasal dari pimpinan KPK, tidak etis; namun tentunya saya sebagai ahli hukum wajib menjawab pertanyaan tersebut bukan atas nama KPK akan tetapi sebagai Ahli,” katanya.

Pertanyaan mens-rea, seingat Romlu merupakan materi kuliah dan pelajaran awal dalam mata kuliah di semester tiga Fakultas Hukum. Di dalam setiap perkara pidana tentu yang tampak terlebih dulu adalah fakta, yaitu perbuatannya, apakah dapat dipidana atau tidak dapat dipidana.

“Setelah unsur-unsur pidana ditemukan di dalam perbuatan yang diduga suatu tindak pidana, barulah kemudian dalam tahap penyidikan dilakukan untuk menemukan siapa tersangkanya dan digali motif tindak pidana tersebut dilakukan,” katanya.

Adapun syarat untuk menemukan mens-rea sendiri harus dipelajari lebih dulu soal fakta dari perbuatan yang diduga suatu tindak pidana, dan dengan membaca/mempelajari fakta tersebut akan ditemukan ada/tidak adanya niat untuk melakukan tindak pidana yang dituduhkan.

“Untuk menemukan mens rea tidak cukup dengan hanya membaca berita koran saja akan tetapi harus memiliki dan menguasai seluruh fakta yang telah diperoleh dari keterangan saksi-saksi termasuk terduga,” katanya.

Sementara itu, Romli menegaskan bahwa tugas dan wewenang BPK di dalam UU Nomor 15 tahun 2006 itu disebutkan pemeriksaan, pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Kedua, pelaksanaan pemeriksaan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan undang-undang tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. (3) Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

“Jadi tidak ada satupun ketentuan dalam UU BPK bahwa Lembaga Penyidik dalam hal ini KPK wajib memberitahukan hasil pemeriksaan/penyelidikan atau penyidikan lembaga tersebut kepada BPK sebagai Lembaga Audi Keuangan Negara untuk sebagai syarat dipenuhinya permintaan penyidik untuk menghitung kerugian keuangan negara,” katanya.

Sebaliknya, kedudukan BPK sekalipun Lembaga tinggi negara diberi tugas melakukan audit keuangan negara tetap saja berdasarkan UU pemberantasan tindak pidana korupsi dan UU KPK, diwajibkan menghitung ada tidaknya kerugian negara dalam kasus yang sedang ditangani KPK.

“Alasan pemeriksa BPK bahwa kewajiban menghitung ada tidaknya kerugian keuangan negara dengan syarat jika pemeriksaan telah menetapkan status tersangka tipikor adalah keliru dengan dua alasan, pertama bagaimana penetapan status tersangka harus dikeluarkan lebih dulu jika syarat pemenuhan unsur tipikor eks Pasal 2 dan Pasal 3 belum dipenuhi sedangkan unsur kerugian keuangan negara merupakan salah satu unsur penting yang harus ada di dalam Pasal 2 dan Pasal 3,” jelasnya.

“Tugas BPK dalam hubungan perkara Formula E hanya menghitung ada tidaknya kerugian negara dalam penyelenggaraan formula E; tidak dibenarkan pula terjadinya kolaborasi antara pemeriksa BPK dan pihak auditor sehingga proses pemeriksaan lanjut KPK menjadi terhambat,” pungkasnya.

Temukan juga kami di Google News.